Projusticia.id - "Di Bawah Lentera Merah" adalah buku yang merupakan adaptasi dari skripsi yang ditulis oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang juga seorang sejarawan. Karya ini berfungsi sebagai cerminan dari usaha akademis Gie dalam menempuh ujian sarjana muda di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sebagai hasil dari penelitian yang teliti dan metodologis, buku ini sarat akan pendekatan ilmiah, seperti yang diharapkan dari sebuah karya ilmiah mahasiswa.
Buku ini diawali dengan ucapan terima kasih dari Gie kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan skripsinya. Ini memberikan sentuhan personal dan memperlihatkan penghargaan Gie terhadap kontribusi orang lain dalam pencapaian akademisnya. Bagian pendahuluan buku memperkenalkan fenomena yang menjadi fokus penelitian Gie, yaitu perkembangan komunisme di Indonesia sebelum tahun 1926. Salah satu aspek utama yang dikaji Gie adalah pemberontakan tahun 1926, serta latar belakang munculnya gerakan komunisme di Indonesia, yang ditelusuri mulai dari perkembangan kaum “Marxis” di Indonesia.
Dalam penelitian ini, Gie memilih untuk memfokuskan kajiannya pada pergerakan Sarekat Islam di Semarang selama periode 1917-1920. Pemilihan tahun 1917 karena pada masa itu mulai terlihat kecenderungan sosialistik yang jelas, sementara tahun 1920 dipilih sebagai batas akhir karena pada bulan Mei tahun tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan. Gie menggunakan berbagai sumber referensi, termasuk surat kabar, buku, koran, serta wawancara langsung dengan tokoh-tokoh penting Sarekat Islam Semarang seperti Semaoen dan Darsono, untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang pergerakan ini.
Buku ini memberikan latar belakang sosial yang kuat, menggambarkan bagaimana perubahan dalam kepemimpinan Sarekat Islam Semarang, dengan munculnya Semaoen sebagai presiden, membawa organisasi ini dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda, yang menyebabkan penderitaan petani dan buruh, dijelaskan secara mendalam sebagai salah satu faktor yang memicu radikalisasi pergerakan ini. Perubahan ini menjadi penting karena dari sinilah kemudian lahir gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia.
Gie juga memaparkan bagaimana ketokohan Semaoen berhasil mempengaruhi arah pergerakan Sarekat Islam Semarang menuju sosialis-revolusioner. Penderitaan rakyat akibat eksploitasi oleh pemerintah Hindia Belanda, yang digambarkan secara rinci melalui laporan surat kabar dan tulisan-tulisan dalam media, memperkuat dorongan untuk melakukan perlawanan. Sarekat Islam Semarang, di bawah kepemimpinan Semaoen, mengambil langkah-langkah revolusioner untuk menentang kebijakan pemerintah, termasuk mengorganisir pemogokan buruh dan tani.
Bab empat dan lima buku ini menyajikan perkembangan lebih lanjut dari pergerakan tersebut, termasuk respons pemerintah yang semakin represif terhadap tokoh-tokoh pergerakan, seperti penangkapan Darsono dan Semaoen. Gie juga menjelaskan tentang tiga kelompok utama yang menjadi sendi kekuatan masyarakat Jawa pada masa itu: kaum priyayi, kaum santri, dan masyarakat pedesaan yang mendukung nilai-nilai pra-Hindu. Perjuangan Sarekat Islam Semarang, meskipun diwarnai oleh pengaruh budaya dan agama, menunjukkan bagaimana mereka mengidentifikasi diri dengan perjuangan melawan penindasan.
Gie memberikan catatan menarik mengenai bagaimana beberapa tokoh sosialis Semarang, meskipun meninggalkan PKI, tetap konsisten dalam membela kaum tertindas hingga akhir hayat mereka. Lembaran-lembaran sejarah yang dibahas dalam buku ini dianggap sebagai salah satu bab paling penting dalam sejarah Indonesia, Asia, dan dunia.
"Di Bawah Lentera Merah" adalah buku yang detail dalam menggambarkan suasana awal pergerakan revolusioner melawan penjajahan di Indonesia. Gie menggunakan data sekunder seperti koran-koran dan wawancara dengan tokoh-tokoh sejarah untuk menggambarkan penderitaan rakyat pada masa itu, seperti kelaparan, pengalihan lahan, upah minim, dan ketidaklayakan tempat tinggal. Buku ini menjadi refleksi bagi generasi muda untuk memahami bahwa tokoh-tokoh pergerakan terdahulu berjuang dengan nurani dan pikiran mereka untuk melawan ketidakadilan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Melalui metodologi penelitian yang baik, Soe Hok Gie mampu mendeskripsikan kejadian sejarah secara mendalam, menjadikan "Di Bawah Lentera Merah" bukan hanya sebuah bacaan sejarah, tetapi juga sebagai panduan bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang perjuangan melawan penindasan dan kesewenang-wenangan penguasa.